Ilmu Fiqih

BAB I

PENDAHULUAN

 
 

I.
Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari'ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

 
 

II.    Rumusan Masalah

  1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
  2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
  3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
  4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
  5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
  6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi

 
 

III. Tujuan Pembahasan

            Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.

 
 

BAB II

PEMBAHASAN

 
 

I.       Pengertian

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda' (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

 
 

"Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya".

(Q.S. An-Nahl : 26)

 
 

Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah  punya  beberapa   arti,   menurut

Dr. Ahmad asy-syafi'i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

"Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak".http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn1

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :

"Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya".http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn2

            Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :

            "Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama"

(Q.S. At-Taubat : 122)

Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.

            Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)

            Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

"Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu".

            Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

 
 

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

            Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :

Masa pertumbuhan dan pembentukan  berlangsung  selama tiga abad lebih.

Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi'in serta tabi' tabi'in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

            Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami
al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

            Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :

·               Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat

·               Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :

            "pajak itu disertai imbalan jaminan"

            "Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)"http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn3

            Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.

            Generasi berikutnya adalah tabi'in dan tabi' tabi'in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi'in adalah Abu Yusuf Ya'kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :

"Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal"

            Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

            Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi'i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :

"Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa"

            Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :

            "Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan"

2.      Fase perkembangan dan kodifikasi

Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.

Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :

·        Al-Asybah wa al-Nazha'ir, karya ibn wakil al-Syafi'i (W. 716 H)

·        Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)

·        Al-Majmu' al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala'i al-Syafi'i (W. 761 H)

·        Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3.      Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah

"seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya"

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :

"seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin"

 
 

III. Pembagian Kaidah Fiqh

Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :

1.      Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

                        "Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum"

            kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :

"Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat"

"Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh"

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu'

2.      Segi mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.

Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :

"Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat"

Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3.      Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

·        Kaidah kunci

Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

"Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat"

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia  terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

·        Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :

"Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya"

"Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan"

"Kesulitan mendatangkan kemudahan"

"Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum"

·        Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah " majallah al-Ahkam al-Adliyyat", kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.

IV. Manfaat Kaidah Fiqh

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :

 
 

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)

 
 

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu' menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu'-furu' itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu'nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

 
 

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam  al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : "kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu'iyyat akan tetap bercerai berai."

Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar'ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu', Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari'ah dan kaidah-kaidah dari furu' yang jumlahnya tidak terbatas.

 
 

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah

            Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :

Sebagian fuqaha' menambah dengan kaidah "tiada pahala kecuali dengan niat." Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

 
 

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi

1.      Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan

Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari'ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari'ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari'ah.

2.      Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)

Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :

a.       Kaidah asasi pertama

                  "segala perkara tergantung kepada niatnya"

                  Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

b.      Kaidah asasi kedua

"keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan"

c.       Kaidah asasi ketiga

"kesulitan mendatangkan kemudahan"

                        Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari'ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

d.      Kaidah asasi keempat

"kemudhoratan harus dihilangkan"

                        Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari'ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.

e.       Kaidah asasi kelima

"adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum"

Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.

X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum

            Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :

  1. Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :

    "itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang"

  2. Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.

  3. Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.

     
     

  4. Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.

XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus

            Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :

  1. "Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu"

  2. Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu

    "Hukum asal pada masalah seks adalah haram"

    Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.

  3. "Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya"

    Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.

  4. Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :

    "Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari'ah"

    Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari'ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari'ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.

  5. "Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan"

    Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.

  6. Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :

    "Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram"

    Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

     
     

BAB III

PENUTUP

I.       Kesimpulan

1.      Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz'iyatnya (bagian-bagiannya)

2.      Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.

3.      Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :

·        Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah.

·        Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

II.    Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

 
 

DAFTAR PUSTAKA

 
 

Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana

Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel

Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers

Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana

Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers

Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana

Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang

Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.

Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam

Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy  

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref1Ahmad, Muhammad Asy-Syafi'i 1983 : 4

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref2Fathi, Ridwan, 1969 : 171-172

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref3Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Burnu. Hal. 77

0 comments:

Post a Comment