Pasang Jam di Sidebar

Pasang Jam di Sidebar
Agar blog anda tampak cantik dan menarik untuk di lihat, maka anda bisa memasang beberapa aksesori blog, salah satunya adalah dengan cara memasang jam. Jam ini bisa anda dapatkan secara gratis pada situs http://www.clocklink.com.
Dan bagi anda yang ingin blognya di pasang jamjuga, silahkan ikuti langkah-langkah berikut :
1. Silahkan kunjungi situs http://www.clocklink.com
2. Jika sudah berada pada situs tersebut, silahkan klik tulisan Want a clock on your Website ?
3. Silahkan anda melihat-lihat dulu model dari jam yang tersedia, yaitu mulai dari Analog, Animal, Animation, dll
4. Jika di rasa sudah menemukan model jam yang anda sukai, klik tulisan View HTML tag yang berada di bawah jam yang anda sukai tadi
5. Klik tombol yang bertuliskan Accept
6. Pilih waktu yang sesuai dengan tempat anda di samping tulisan TimeZone. Contoh : untuk indonesia bagian barat pilih GMT +7:00
7. Set ukuran jam yang anda sukai di samping tulisan size
8. Copy kode HTML yang di berikan pada notepad
9. Paste kode HTML yang di copy tadi pada tempat yang anda inginkan
10. Selesai


Karena kode jam blog ini adalah merupakan suatu kode HTML, maka bagi anda yang masih bingung cara menempatkan kode HTML pada template blog, silahkan baca kembali postingan saya terdahulu di sini

Selamat mencoba.
Read More

Hukum Pidana Islam Pernah Diterapkan Di Indonesia

Sumber : Lintas Berita, 31/03/09)

Kejam dan tidak manusiawi. Begitulah kesan sebagian masyarakat kita terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan dan rajam. Prof. Amin Suma, anggota Tim revisi KUHP, menyayangkan kesan yang keliru itu. “Hukum pidana Islam tidak hanya berisi hukuman atau uqubat. Hukum pidana Islam adalah sebuah sistem yang saling terkait,” ujarnya dalam sarasehan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah (HISSI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pekan lalu.

KUHP atau wetboek van strafrecht merupakan kitab hukum warisan kolonial Belanda. Kitab ini ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 1946 dan dinyatakan berlaku berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958. Draf revisi KUHP hanya terdiri dari Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana. Keseluruhan terdapat 41 bab dengan 737 pasal. Draf revisi ini tidak lagi membedakan tindak pinda kejahatan dan pelanggaran. Dalam makalah berjudul Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia, Ketua Tim Revisi KUHP Prof. Muladi menyatakan, revisi ini tidak hanya dimaksudkan sebagai upaya dekolonialisasi, tapi juga rekodifikasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan pidana yang berdiri sendiri disatukan di KUHP. Selain itu, dilakukan pula harmonisasi KUHP dengan perkembangan hukum pidana internasional. Revisi KUHP kini dilakukan secara sistemik dengan menyerap filosofi dan kultur yang ada di masyarakat. Dengan begitu, menurut Prof. Amin, hukum Islam yang telah berkembang di tanah air bisa diadopsi pula ke dalam KUHP. Jika menengok sejarah, hukum pidana Islam sudah pernah diberlakukan oleh beberapa kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-16. “Buktinya waktu itu ditemukan banyak orang yang tangannya buntung karena dihukum potong tangan,” kata Prof. Amin. Hanya, pada masa kolonialisme, hukum pidana Islam nyaris tidak pernah diterapkan. Sejatinya, hukum pidana dengan Fiqh Jinayah ini memiliki banyak kesesuaian. “Tidak perlu dipertentangkan,” tandas Prof. Amin. Ia memberi contoh asas legalitas. Hukum pidana menegaskan, seseorang tidak bisa dihukum jika tidak ada aturan yang melarang perbuatan orang itu.

Fiqh Jinayah juga punya asas demikian. Prinsipnya, seluruh perbuatan pada dasarnya boleh dilakukan, kecuali jika ada peraturan yang melarangnya. Salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga korban. Menurut Prof. Amin, lembaga pemaafan ini bisa diefektifkan untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas). Bukan rahasia umum, kondisi lapas di negeri ini sudah overquote. Bukannya efektif menjadi lembaga rehabilitasi, lapas justru menjadi locus delicti bagi terjadinya tindak pidana, seperti tindak pidana narkotika. Belum lagi, negara harus menanggung biaya yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup para narapidana. Rupanya, draf revisi KUHP mulai memasukkan konsep itu. Meski tak sama persis, asas judicial pard on yang ada draf revisi KUHP memungkinkan seorang terdakwa mendapat ampunan dari majelis hakim. Namun, kewenangan hakim untuk memberi maaf diimbangi dengan asas culpa in causa yang memberi kewenangan hakim untuk tetap mengganjar terdakwa walaupun ada alasan penghapus pidana. Hal lain dari Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi ke dalam KUHP adalah konsep diyat. “Ini berbeda dengan konsep denda dalam hukum pidana,” kata Prof Amin.

Diyat adalah pembayaran dalam jumlah tertentu yang harus diberikan terdakwa kepada korban atau keluarganya. Sedangkan denda harus diberikan kepada negara. Dari beberapa segi, konsep diyat ini dinilai lebih pas memulihkan hak-hak korban tindak pidana. “Kalau yang dirugikan adalah korban, kenapa justru negara yang menerima denda dari terdakwa?” jelas Prof. Amin. JM Muslimin, Ketua Assosiasi Dosen Syariah Indonesia, menyatakan, membumikan hukum pidana Islam bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan peran negara karena berkaitan dengan hukum publik. Ini berbeda dengan penerapan hukum perdata Islam. Mesir, misalnya, sejak 1940-an menegaskan dalam konstitusinya bahwa satu-satunya sistem hukum yang dipakai di Negara Piramida itu adalah hukum Islam. Namun faktanya tak seluruh hukum Islam diterapkan di sana. Yang diberlakukan secara menyeluruh hanya hukum perdata Islam. Sementara hukum publiknya tetap mengacu kepada hukum warisan Perancis.
Read More

Kaidah-kaidah Fiqh

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II. Rumusan Masalah

  1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
  2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
  3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
  4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
  5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
  6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi

III. Tujuan Pembahasan

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.

BAB II

PEMBAHASAN

I. Pengertian

Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.

(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut

Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn1

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :

”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn2

Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :

Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”

(Q.S. At-Taubat : 122)

Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)

Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :

  1. Fase pertumbuhan dan pembentuka

Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.

Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :

· Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat

· Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :

”pajak itu disertai imbalan jaminan”

”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftn3

Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.

Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :

”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :

”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”

Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :

”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi

Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.

Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :

· Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)

· Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)

· Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)

· Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah

“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :

“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

III. Pembagian Kaidah Fiqh

Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :

1. Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’

2. Segi mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.

Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”

Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

· Kaidah kunci

Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :

”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

· Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

· Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.

IV. Manfaat Kaidah Fiqh

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :

  1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
  2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
  3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
  4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)

  1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum
  2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
  3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
  4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
  5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
  6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

  1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
  2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :

  1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
  2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah

Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :

  1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
  2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
  3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
  4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
  5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

  1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
  2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
  3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.

IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi

1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan

Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.

2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)

Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :

a. Kaidah asasi pertama

“segala perkara tergantung kepada niatnya”

Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

b. Kaidah asasi kedua

“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

c. Kaidah asasi ketiga

“kesulitan mendatangkan kemudahan”

Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

d. Kaidah asasi keempat

“kemudhoratan harus dihilangkan”

Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.

e. Kaidah asasi kelima

“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.

X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum

Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :

  1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”

Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :

“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”

  1. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”

Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.

  1. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
  2. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”

Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.

  1. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”

Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.

XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus

Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :

  1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah

“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”

  1. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah

Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu

“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”

Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.

  1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.

  1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah

Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :

“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”

Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.

  1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah

“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”

Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.

  1. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)

Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :

“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”

Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

BAB III

PENUTUP

I. Kesimpulan

1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)

2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.

3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :

· Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

· Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

II. Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana

Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel

Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers

Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana

Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers

Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana

Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang

Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.

Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam

Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref1Ahmad, Muhammad Asy-Syafi’i 1983 : 4

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref2Fathi, Ridwan, 1969 : 171-172

http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 - _ftnref3Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Burnu. Hal. 77

Read More